Rabu, 29 Juni 2011

ISLAM DAN ADAT JAWA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pertemuan antara dua budaya selalu saja memunculkan sebuah kontestasi yang sering berujung pada dua pilihan antara eliminasi dan akulturasi, tak terkecuali dalam kasus pertemuan antara Islam dan Jawa. Di saat Islam menjadi kekuatan utama budaya dan agama utama di kepulauan Nusantara, Islam banyak mengalami “persentuhan” dengan tradisi lokal yang sudah lebih dulu ada, yaitu tradisi yang dibangun sejak zaman Hindu-Budha. Tak terkecuali di Jawa, Islam banyak mengalami pribumisasi sebagai wujud perkawinan kultural yang biasa dialami oleh dua entitas yang masing-masing saling membutuhkan dukungan
untuk meneguhkan eksistensinya.
 Para peneliti Barat yang menyimpukan bahwa persinggungan antara Islam dan kebudayaan lokal lebih dilihat sebagai proses Jawanisasi unsur-unsur Islam, Simuh berpandapat lain. Menurut Simuh, peneliti Barat lebih melihat dari sudut Hinduisme sehingga memperkecil pengaruh Islam yang sesungguhnya. Bagi dia, itu adalah proses Islamisasi warisan budaya kraton ketimbang Jawanisasi unsur-unsur Islam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hubungan budaya islam dengan budaya jawa?
2.      Bagimana akulturasi dan asimilasi islam di jawa?
3.      Apa saja contoh bentuk budaya jawa yang mengalami akulturasi dengan budaya jawa?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hubungan budaya islam dengan budaya jawa
2.      Mengetahui akulturasi dan asimilasi islam di jawa
3.      Mengetahui contoh bentuk budaya jawa yang mengalami akulturasi dengan budaya jawa.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hubungan Budaya Islam dengan Budaya Jawa
Teori Receptie Exit atau Receptie a Contrario adalah teori yang mengatakan bahwa hokum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Jika selama teori Receptie berlaku, adalah sebaliknya, yaitu hukum Islam dapat dilaksanakan, apabila diterima (diresepsi) hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum Islam harus dikeluarkan, dilawan atau ditolak.
            Badan perdebatan perumusan dasar Negara oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) para pemimpin Islam dalam Negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha tersebut tidak sia-sia. Dalam piagam Jakarta 22 Juni 1945 disepakati bahwa Negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun demkian, atas desakan pihak Kristen tujuh kalimat tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti denagn kata “Yang Maha Esa” yang menurut H. Daud Ali, mengandung norma dan garis hukum.
Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna “kontak” antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, misalkan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi : hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut. Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau bendaHubungan agama dan kebudayaan dapat digambarkan sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal balik. Agama secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman masyarakat berdasarkan kebudayaan yang telah dimiliki. Sedangkan kebudayaan selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Jadi hubungannya agama dan kebudayaan bersifat dialogis.
Mengapa islam begitu mudah diterima oleh masyarakat jawa karena ajaran-ajaran islam yang dibawa oleh para wali ketika itu bersifat sufistik, cocok dengan kebudayaan jawa yang memiliki tradisi dan laku  kebatinan yang dalam. Sunan Kalijaga, tokoh jawa yang berhasil memadukan unsur islam dan unsur jawa yang berbeda dengan islam tanah kelahirannya. Agama Islam masuk ke Indonesia telah mengalami akulturasi budaya karena agama islam yang murni sulit untuk diterima oleh karena itu, para Walisanga mensyi’arkan agama menggunakan media budaya jawa tersebut. Wali songo, adalah orang-orang yang sangat bijak, sangat supel, dan luwes dalam mendakwahkan agama. Sebelum beliau-beliau wali songo tersebut menyiarkan agama, mereka telah lebih dulu mengenal budaya. Dengan metoda yang sangat cerdas di masa itu, mereka mengambil penyatuan budaya dan agama. Misal: penyatuan metode peringatan orang meninggal seperti 40 hari, 100 hari, 1000 hari yang sebenarnya merupakan kebudayaan animisme dan Hindu, yang terlanjur mendarah di masyarakat. Walisanga menggunakan metoda, tradisi Yasinan untuk acara itu. Sedikit demi sedikit masyarakat pun akhirnya dapat menerima hal itu. Namun ternyata dalam pelaksanaanya, walisanga pun habis karena wafat, dan ajaran yang mereka bawa, evolusi budaya yang mereka bawa pun mati. Maka hingga kini acara-acara kenduri seperti itu tetaplah ada.
Itu adalah bentuk pendekatan-pendekatan agama terhadap budaya sepanjang hal itu tidak melanggar dan tidak bertentangan. Namun bagaimana dengan kekayaan budaya Indonesia yang bersinggungan dengan budaya? Seperti penyembahan patung atau benda-benda lain, adu domba, adu ayam, pernikahan model terbalik (perempuan melamar lelaki sementara agama Islam dijunjung kuat di daerah itu), dan sejenisnya.
Kita juga akan sering menemui wujud-wujud warisan budaya lain seperti pantangan, tuntunan, perhitungan hari, ilmu titen (memperhatikan kebiasaan), ramalan dan sejenisnya yang merupakan budaya dan ilmu-ilmu turunan budaya bangsa ini. Seluruhnya adalah kekayaan bangsa. Semua daerah pasti memiliki hal seperti ini.
B.  Akulturasi dan Asimilasi Islam di Jawa
·         Akulturasi jawa-islam
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Contoh Akulturasi      : Upacara slametan yang disebut sebagai Rasulan dalam acara tersebut pengujup mengucapkan ujub dan Kabul. Pengucapan doa menurut agama islam.
·         Asimilasi Islam-Jawa
Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara orang atau kelompok. Untuk mengurangi perbedaan itu, asimilasi meliputi usaha-usaha mempererat kesatuan tindakan, sikap, dan perasaan dengan memperhatikan kepentingan serta tujuan bersama.
Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Setelah Islam datang ke Jawa dan membawa paham monoteisme, lambat laun mengikis habis kepercayaan-kepercayaan lokal. Yang masih meyakini adanya dewa-dewa dan danyang desa yang diekspresikan dalam bentuk upacara-upacara keagamaan lokal, seperti; bersih desa, nyadran, tingkepan, dll. Sekarang sudah diganti dengan hanya beriman kepada Allah yang Maha Esa. Sehingga upacara-upacara itu telah digantikan dalam bentuk peribadatan menurut Islam.


C.  Contoh budaya jawa yang mengalami akulturasi budaya islam
Asal usul istilah sekaten berkembang dalam beberapa versi. Ada yang berpendapat bahwa sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama dari dua perangkat pusaka kraton berupa gamelan yang disebun Kyai Sekatu yang ditabuh dalam rangkaian acara peringatan Maulud nabi Muhammad SAW. Pendapat lain mengatakan bahwa sekaten berasal dari kata Syahadata, dua kalimat dalam syahadat Islam yaitu Syahadat Tauhid (Asyhadu Alla Ilahailallah) yang berarti saya bersaksi bahwa tiada Tuhan Melainkan Allah dan Syahadat Rasul (Waasyhadu anna Muhammadarrosulullah) yang berarti saya bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Upacara Sekaten dianggap sebagai perpaduan antara kegiatan dakwah Islam dan seni. Pada awal mula penyebaran agama Islam di Jawa, salah seorang walinsongo yaitu Sunan Kalijaga, mempergunakan kesenian kerawitan (gamelan Jawa) untuk memikat masyarakat luar agar datang untuk menikmati pergelaran kerawitannya dengan menggunakan dua  perangkat gamelan Kanjeng Kyai sekati. Di sela-sela pergelaran dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Alquran. Bagi mereka yang memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat syahadat sebagai pernyataan taat kepada agama Islam.
Di Yogyakarta ada sebuah adat budaya yang hingga saat ini masih terus dilestarikan yaitu sekaten yang diselelnggarakan untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan ketiga dari tahun Jawa. Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Diselenggarakan pada tanggal 5 hingga 12 dari bulan yang sama. Perayaan sekaten diantaranya meliputi, sekaten sepisan, yaitu dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Ngowilogo dan Kyai gunturmadu, Kemudian pemberian sedekah.  Ngarso Dalem Sri Sultan HB X beserta udhik-udhik (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Yogyakarta dan ditutup dengan Grebeg.
Tahap-tahap dalam sekaten dimulai dengan dibunyikan pertama kali gamelan pusaka sebagai pertanda dimulainya upacara sekaten dan diselenggarakan upacara udhik-udhik, gamelan dipindahkan ke halaman Masjid besar, Sri Sultan dan pengiringnya hadir untuk mendengarkan pembacaan riwayat Maulud Nabi Muhammad SAW dan diselenggarakan. Upacara Udhik-udhik di Pagongan dan serambi masjid besar dan terakhir dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman masjid ke dalam keraton untuk menandai ditutupnya upacara sekaten. Tujuan diselenggarakannya upacara sekaten untuk sarana penyebaran agama Islam.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tradisi jawa yang boleh dilestarikan adalah tradisi-tradisi yang tidak bertentangan dengan syara'. Sebagaimana Rasulullah telah menjaga tradisi Arab yang tidak melanggar syariat. Menjaga budaya dan tradisi yang tidak bertentangan dengan syari'at lebih diprioritaskan daripada taat yang tidak wajib.
Islam-Jawa unik, bukan karena ia mempertahankan aspek aspek budaya dan agama pra-Islam, melainkan karena konsep konsep, sufi mengenai kewalian jalan mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi suatu kultus kraton (imperial cult)
Dalam bidang ritual keagamaan (upacara) sampai saat ini dinegara kita masih banyak kita dapati. Upacara tersebut dilakukan oleh orang nonmuslim dan dilakukan juga oleh orang orang Islam. Bagi masyarkat Indonesia upacara sangat sulit untuk ditinggalkan bahkan sudah mendarah daging (sudah tradisi). Hal itu dikarenakan sebagian masyarakat Indonesia sulit membedakan mana yang agama mana yang bukan agama (budaya). Lebih lebih budaya yang muncul di Indonesia yang semula berasal dari satu agama ke agama yang lain sehingga sulit dibedakan mana budaya Islam dan mana yang bukan budaya islam.
Rasulullah di utus Allah untuk menyempurnakan akhlak (budaya). Sebagaimana dlm hadits: “Innama bu'itstu li'utammima makarimil akhlaq”, yang berarti, sbelum adanya utusan sudah ada budaya.
Kesimpulanya budaya dan tradisi yg di abadikan adalah:
1.      Budaya yang tidak bertentangan dengan syari'at.
2.      Budaya yang dianggap baik orang- orang  Islam sebagaimana hadits:
“Wama ro'ahulmuslimuna minna fahua indallohi hasanun”, sesuatu yang dilihat orang muslim dariku, maka hal tersebut bagus menurut Allah.



                                                DAFTAR PUSTAKA

Alfian Teuku Ibrahim,  dkk. 1998 Islam dan Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta,    Yogyakarta : Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia.
Soeratno, Siti Chamamah. dkk.2001. Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta II, Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia & IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Wahid, Abdurrahman. 2001 Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Jakarta : Desantara,







0 komentar:

Posting Komentar